JANGAN DI BACA DAPAT MENYEBABKAN MUAL


FINAL MATA KULIAH Bahasa Jurnalistik

SEMISTER II JURUSAN Jurnalistik A & B FDK UIN ALAUDDIN MAKASSAR 2018

NAMA : NUR HIKMA HS

NIM : 50500117054

KELAS : JURNALISTIK B

 

1.    Bagaimana corak Jurnalisme Sastrawi?

            Jurnalisme Sastrawi adalah jenis bahasa jurnalistik yang teknik dan gaya penulisannya menggunakan karya sastra seperti cerpen dan novel. Menulis berita dengan narasi panjang serta mendramatisir adalah ciri khas dari jurnalisme sastrawi. Jika biasanya tulisan jurnalistik selalu berpegang teguh pada kaidah penggunaan 5w+1h yang wajib hukumnya bukan sunnah. Jurnalisme sastra justru lebih berdasarkan atas penyusunan adegan, dialog, detail, penentuan fiksi dan non fiksi, berbentuk feature, konflik, karakter, action, emosi, serta perjalanan waktu atau episode.

            Jurnalisme Sastrawi harus mampu menarik perhatian pembaca sehingga mampu mengakrabkan diri. Dengan mengamati seluruh suasana yang ada, seperti mendeskripsikan atau menafsirkan latar tempat, latar waktu, dan latar suasana hingga para pembaca ikut terseret masuk dalam setiap kata demi kata yang ada. Ada istilah dalam dunia menulis yang terus saya jadikan patokan dalam membuat karya tulis yang hidup yakni ungkapan “don’t tell them, but show it.” Artinya jangan beritahu mereka tapi tunjukkan. Dialog di sini dapat berperan penting dalam menghidupkan kisah. Menggunakan sudut pandang orang ketiga merupakan media dalam mengakrabkan diri serta membuat pembaca merasa nyaman. Elemen terakhir yang ada yaitu mencari monolog interior yang berfungsi sebagai bumbu dramatisir yang menyedapkan bacaan dengan mengolah dan mengembangkan fakta tambah menambah atau menguranginya sedikitpun.

 

2.    Bagaimana analisis Bahasa Foto & Karikatur dalam Surat Kabar?

            Bahasa Foto dan Karikatur adalah wujud tulisan yang memiliki visual yang jelas dan dapat langsung dicerna dan dinikmati. Seringkali biasanya sebagai pendukung dalam tulisan sehingga orang-orang merasa tertarik untuk membaca dan mencari penjelasan dari foto atau karikatur yang diamati tersebut. Intinya keduanya harus berjalan seiringan dan saling melengkapi.

            Karakteristik dari bahasa foto dan karikatur sendiri harus bersifat aktual, faktual, penting, menarik, emosional, dan berhubungan dengan berita. Faktanya karakteristik terakhir berbanding terbalik dengan apa yang tersaji di masa sekarang.

            Para jurnalis di surat kabar seakan tidak mementingkan hubungan relasi antara bahasa jurnalistik dan bahasa foto serta karikatur. Seperti masalah clickbait (sampul dan isi video tidak sama, karena hanya ingin memancing viewers) di Youtube yang sejak dulu tidak mampu di musnakan sama halnya dengan gambar di Koran. Apa yang terpajang serta tulisan dibawahnya saling tidak singkron hingga seringkali hanya merugikan para pembaca karena mereka tidak puas dengan tulisan yang ada.

 

CHAPTER 1 (Feature=berita kisah/berita bertutur)

a.    “Balada Pecinta Korea, Status Jomblo Berformalin”

                        Pada suatu hari, di pagi yang cerah penghuni kelas X MIA 6 tengah menikmati mata pelajaran favorit semua siswa-siswi yang bermukin di Bima Sakti, jam kosong atau familiar diterjemahkan sebagai waktu ketika guru sedang berhalangan mengajar karena suatu urusan, yang bukannya disesalkan tapi malah dimanfaatkan dengan baik untuk menikmati masa SMA di tahun pertama sebagai anak baru.

                        Saat itu saya hanya duduk mematung di bangku paling belakang sekalipun sesekali lalat hinggap dengan kurang ajar. Saya mengeksploitasi aktivitas teman sekitar yang beraneka ragam serta tak berfaedah. Ada yang sedang mendirikan konser dadakan di depan kelas meski dengan suara pas-pasan, pas untuk menyakiti gendang telinga dan pas untuk disumpal. Bermain sepak bola. Menggosipi senior-senior yang sok menjadi dewa. Melakukan adegan kejar-kejaran layaknya pasangan alay dipantai. Memakan cemilan yang banyak padahal jam istirahat masih lama berdentang. Spesies manusia lokturnal yang aktif dimalam hari bermain games ataupun menonton bola telihat mencoba tidur meskipun berada ditengah kebisingan kelas yang menyerupai kebun binatang. Anak rajin yang memanfaatkan waktu untuk belajar dapat dihitung jari. Tapi yang paling mengusik saya pada masa itu adalah suara jeritan teman kelas cewek yang mengerumuni laptop yang berada tidak jauh dari tempat saya duduk seorang diri.

                        Satu hal yang tidak disukai orang-orang dari saya, yakni mood swing yang telah mendarah daging dan akan menjadi bagain dari diri saya selamanya. Saat saya tidak mood maka saya akan terang-terangan memperlihatkan ketidaksukaan saya. Maka dengan wajah datar dan langkah seribu saya berjalan menuju kerumunan teman-teman bersuara cempreng itu. Beberapa percakapan mereka sayup-sayup saya tangkap saat semakin dekat.

“Kris Oppa ganteng banget sih!”

“Ih dia punya gue, jodoh aku.” Balas yang satunya nyolot.

“Ih jelas-jelas dia suamiku, jangan ngaku-ngaku deh,” yang lainnya ikut menyahut.

“Udah-udah oppa itu milik bersama, kecuali D.O EXO itu udah jadi hak patenku.”

“Ambil aja, gantengan juga Chanyeol my baby…”

                        Dan ungkapan-ungkapan bernada memuja lainnya yang benar-benar tidak saya mengerti sama sekali. Kris Oppa? Maksudnya Opa dia punya kris? Masa kris ganteng sih yang adakan tajem dan bahaya. D.O EXO? Seseorang mau di DO? Memangnya dia melakukan kenakalan apa. Chanyeol itu apalagi? Yang saya tahu Cendol itu enak kalau dimakan pake air gula merah. Karena terlalu penasaran saya pun memberanikan diri melesatkan diri dengan badan yang lumayan, tidak gemuk tapi juga tidak kurus. Seketika teman-teman saya menghadiahkan mata laser mereka, yang andai saja tatapan bisa membunuh, saya mungkin sudah tinggal nama detik itu juga.

                        Mereka mengomel karena mengganggu acara mereka menonton movie yang digawangi laki-laki berkulit putih dan berparas tampan sedang menyanyi dan berjoget serta berakting. Ada beberapa yang terlihat seperti perempuan di mata saya karena memiliki bibir yang tipis nan merah serta bentukan wajah yang cantik, namun melihat dia berpotongan rambut laki-laki sayapun ragu ingin mengkategorikan gendernya apa. “Kalian ngapain sih teriak-teriak nontonin cowok cantik nyanyi dan joget?” tanyaku polos yang untungnya mereka tidak langsung menerjang dan mencabik-cabik tubuh saya melihat seberapa terbakar amarahnya mereka saat saya menghina secara tidak langsung.
 
 

                        Teman saya saat itu yang terkenal sebagai owner dari laptop akhirnya mempromosikan laki-laki berwajah indah dalam layar kaca tersebut satu persatu. Meskipun sebenarnyai saya pernah mendengar  yang namanya korea yang tentunya identik dengan budaya operasi plastik namun entah kenapa ketika saya melihat mereka yang digilai banyak kaum hawa, juga ikut menjerat hati saya. Sejak saat itu tiada hari tanpa kewajiban untuk mencari segala macam informasi dan berita seputar idola korea saya hingga sekarang.

                        Saya yang awalnya tidak suka dengan jenis musik k-pop dan lebih condong ke musik barat yang keren dan swag pun sedikit demi sedikit beralih kegemaran. Semua dikehidupan saya penuh dengan yang namanya korea. Playlist lagu semuanya korea, video dan foto dipenuhi idola korea, kebiasaan berbicara menggunakan bahasa korea yang pada sesama pencinta korea, saya yang dulunya menonton sinetron Indonesia dan seringkali berebut remot dengan orang rumah mulai jarang menonton tv dan memilih berkutat dengan laptop menghabiskan waktu memutar drama korea ataupun mv idola, kalau makan mie pakai sumpit, intinya semua hal yang lumrah dilakukan para penikmat korea.

                        Saya juga mulai sensitif dengan hal-hal yang berbau korea yang dibicarakan orang lain. Telinga seakan memasang kuda-kuda otomatis saat mereka menjelek-jelekkan. Orang-orang disekitar seringkali menganggap saya dan teman-teman lain terlalu banyak berimajinasi dan berhalusinasi sebab terlalu terobsesi dengan oppa-oppa korea.

                        Mereka mengatakan saya menghabiskan waktu percuma mengagumi segumpal plastik berjalan dan menjadi orang yang menyimpang setelah memilih untuk tidak menjalin hubungan dengan lawan jenis atau pacaran seperti remaja kebanyakan.

                        Tapi menurut saya, mereka tidak berhak untuk mengomentari dan mengatur apa yang harus saya sukai dan apa yang tidak. Saya tahu Korea itu mayoritas masyarakatnya terbiasa melakukan operasi plastic namun itupun tidak semuanya. Lagian idola yang saya banggakan tidak termasuk ke dalamnya, kenapa? Karena saya tahu dari foto-foto masa kecil mereka yang tidak berubah sama sekali. Kalaupun orang Korea melakukan oplas toh itu tidak merugikan kita sama sekali, uang-uang mereka, yang merasakan sakit mereka, dan mendapat dosa juga mereka sendiri.

                        Saya mengagumi orang korea bukan hanya karena paras mereka, tapi lebih kepada kerja keras mereka dalam menjajaki dunia industry hiburan. Dimana Korea memang sangat ketat dan ganas dalam memilih tokoh atau ikon entertainment, tidak jarang bahkan ada yang tidak sanggup lagi dan memilih bunuh diri. Dan lagi Korea adalah Negara dengan pendidikan terbaik kedua di dunia setelah Finlandia, mereka benar-benar bukan orang yang menyepelekan pendidikan seperti di Indonesia. Negara yang dulunya menjadi negera termiskin justru sekerang sangat berpengaruh dalam membentangkan sayapnya di dunia internasional. Intinya saat saya menyelami dunia mereka saya merasa ada perasaan semangat untuk mencapai mimpi-mimpi yang ada agar menjadi kenyataan.         

                        Saat ditanya orang kenapa saya tidak pernah pacaran sampai umur 18 tahun ini? Jawabannya tetap sama setiap harinya, karena sedang menunggu oppa yang sibuk mencari nafkah di Korea. Decakan sebal akan langsung terdengar. Tapi sebenarnyai bukan itu alasan terbesar namun lebih dikarenakan orang tua. Ummi dan Ba’bah saya adalah jenis orang tua yang sangat konservatif, kata pacaran tidak akan pernah ada dalam kamus mereka apalagi saya adalah anak tunggal yang sangat dijaga dari kerasnya dunia luar. Maka dari itu sejak kecil saya terdoktrin untuk tidak macam-macam bersama lawan jenis. Saya menikmati pertemanan dengan kawan laki-laki saya tapi hanya sebatas itu. Beberapa kali dahul saya menolak cowok-cowok dengan mentah-mentah tanpa babibubebo.

                        Dan karmanya sekarang tidak pernah ada ungkapan pernyataan cinta lagi, entah disebabkan karena saya yang terlalu sibuk mengagumi oppa-oppa korea atau mereka memang ilfil dengan tingkah saya yang narsis dan menganggap bahwa pria korea adalah pacar atau suami saya. Anehnya entah kenapa saya tidak terganggu sama sekali dan tidak pusing dengan hal tersebut. Tidak pacaran bukanlah akhir dari segelanya. Jodoh di tangan Tuhan, sebanyak apapun formalin yang mengekang kejombloan saya akan tetap memilih seseorang yang tepat.

 

b.    “Sejarah Masuk UIN ALAUDDIN MAKASSAR”

Di tahun ketiga masa SMA, siswa-siswi senior mulai terjangkit virus bingung menata jejak langkah berikutnya sehabis lulus sekolah. Jujur saya ikut merasakannya dan terasa sangat menyesakkan. Setiap hari silih berganti guru-guru mulai memberikan wejangan-wejangan memuakkan tentang pentingnya menyusun rencana masa depan serta pentingnya waktu yang hanya kami habiskan hanya untuk berhedonisme menikmati tahun terakhir di SMA.

            Ada tiga opsi yang diberikan. Pertama, pilihan untuk melanjutkan pendidikan yakni berkuliah. Kedua, Kesiapan untuk terjun langsung mencari uang sendiri atau bekerja. Dan yang terakhir opsi yang membuat saya bergidik ngeri, pilihan yang khusus ditujukan pada siswi perempuan, memutuskan untuk menikah. Pilihan kedua tentu terdengar sangat menggiurkan, memangnya siapa yang tidak ingin digaji? Namun, mental saya belum matang. Bayangan untuk menerima tekanan dari pihak atasan bukanlah sesuatu yang menyenangkan. Sedangkan opsi ketiga? Big No! Saya ini anak tunggal, modal yang saya miliki untuk membangun kehidupan bahtera rumah tangga bersama orang lain itu kosong melompong. Mengurus diri saya sendiri saja tidak becus apalagi ikut campur kehidupan orang lain. Hingga saya pun akhirnya mengambil jalan keluar terakhir permasalahan tersebut, yakni berkuliah.

            Sejak dulu memang saya telah menargetkan akan berkuliah dan orang tua tentu mendukung keputusan baik saya. Tapi keinginan untuk kuliah bukan hanya sekedar kesiapan untuk kembali berkutat dengan dunia ajar-mengajar. Ini lebih dari sekedar menentukan ingin makan coto atau pallubasa. Bangku kuliah tidak sama dengan sekolah yang hanya kita anggap taman bermain untuk menemukan kesenangan remaja. Melainkan pondasi untuk menentukan kedudukan serta kebahagiaan di masa depan. Prinsip saya semakin banyak pengetahuan yang dimiliki seseorang maka performa dalam dunia kerja akan membawa kita ke kehidupan finansial yang menjanjikan.

            Jika teman-teman lain pusing memikirkan dimana bakat serta minat mereka untuk menentukan jurusan perkuliahan, saya justru bingung memilihnya. Saya terlalu banyak memiliki hal yang saya sukai. Saya suka menggambar dan melukis, sehingga pilihan dunia desain sempat melintas bak pesawat terbang namun sedetik kemudian hilang ditelan awan. Saya mempelajari banyak bahasa, dimana sastra sempat memiliki posisi yang kuat namun saya urungkan. Saya senang dunia politik serta debat, membayangkan menjadi orang hukum terdengar mengagumkan.  Karena saya anak IPA dan gemar menggambar, arsitek pernah saya pilih di SNMPTN namun gagal total karena saya sangat payah dalam perhitungan. Sebenarnya saya tidak memiliki banyak bakat, saya sangat benci yang namanya perhitungan ataupun analisis angka lainnya namun sangat terobsesi pada dunia tulis menulis.

            Dimana sejak SMP saya kembangkan terus menerus, hingga memang sejak dulu sastra cukup mempengaruhi saya. Saat itu saya tengah berselanjar diderasnya dunia internet, mencari-cari jurusan yang cocok. Dan kata “Hubungan Internasional” seperti menjadi oase ditengah padang pasir yang membuat mata saya bersinar menemukan berlian.

            Saya akhirnya hanyut menghisap seluruh informasi tentang program studi yang berhasil menghantam diri saya sedemikian kuatnya. Semua yang tersaji di dalamnya adalah sesuatu yang sejak zaman baheula saya impikan. Politik, hukum, sosial budaya, komunikasi, bahasa asing, debat, kemampuan menulis yang baik, serta kesempatan untuk mendapatkan wawasan seputar dunia intenasional yang sangat banyak. Prospek kerja yang saya dambakan menjadi seorang duta besar Indonesia hingga mendapat tempat di PBB.

            Kenapa? Sebab saya berkeinginan menjadi orang yang dihormati dan berpengaruh bagi kelangsungan hidup bangsa, Negara dan dunia. Mungkin akan terdengar sangat konyol dan cenderung tidak mungkin. Sudah banyak nada sinis nan mencela yang membuat saya jatuh bangun mempertahankan harga diri demi mimpi yang menunggu untuk di wujudkan. Akhirnya saya pun memasukkan tiga jurusan potensial saat mendaftarkan diri sebagai peserta SBMPTN. Yakni hubungan internasional, ilmu komunikasi, dan jurnalistik.

            Setiap hari saya menunggu dengan jantung berdetak melebihi bedug masjid. Untuk pertama kalinya saya meminta kepala Allah SWT suatu permohonan yang saya harap dapat dikabulkan. Sebelum-sebelumnya saya adalah orang yang sangat santai dan hanya mencoba menikmati hidup sebaik mungkin, dan duduk berpangku tangan menjalani setiap apa yang ada tanpa repot memikirkan efek sampingnya. Jenis pikiran untuk membiarkan sesuatu berjalan sesuai kehendak yang Maha Kuasa. Namun kali ini saya memohon dengan sangat pagi, siang, dan malam untuk dilancarkan.

            Sebelum membuka pengumuman kelulusan, saya berdoa dan berdzikir sebanyak mungkin sampai saya siap menerima hasil akhirnya. Tiba saatnya ketika saya mengintip dengan samar-samar warna hijau dilayar kaca laptop. Saya lega bukan main, itu tandanya saya lulus. Perlahan-lahan menyingkirkan tangan di mata dengan detakan jantung yang seperti ingin keluar. “Selamat Anda Lulus di pilihan ketiga, Jurnalistik – UIN ALAUIDDIN MKS” dunia seperti runtuh di kaki saya. meteor berisi keantusiasan untuk belajar dunia internasional hancur berkeping-keping. Saat semua orang bahagia dan sedih melihat pengumuman. Saya justru berada di zona abu-abu, kosong. Di satu sisi saya merasa senang karena lulus dari sekian banyaknya orang yang mendaftar sekaligus kecewa karena Allah tidak menyetujui pilihan saya.

            Saya pun memilih mengambilnya karena takut jika saya kembali mendaftar tahun depan justru akan kembali menelan pil pahit yang sama yakni kembali tidak lulus.

            Lagipula jurnalistik tidak benar-benar melenceng dari pilihan saya. Hobi saya menulis, dan jurnalistik harus memiliki bakat tersebut. UIN Alauddin Makassar juga salah satu universitas terbaik dengan lingkungan yang kondusif untuk menjadi tempat belajar. Saya tidak mendapat jenis kesulitan apapun selama memutuskan untuk menjadi bagian dari kampus islam negeri tersebut.

            Hari itu juga saya mendapat kabar bahwa salah satu teman kelas aya juga lulus di jurusan dan universitas yang sama. Keyakinan sayapun makin terpupuk untuk memilih menjalaninya dulu baru kemudian menilai apakah saya cocok atau tidak. Saya dan Kiki (teman kelas SMA yang satu jurusan) memutuskan untuk tinggal bersama. Kami berdua selalu bersama-sama saat mengurus bangku perkuliahan. Seperti ngengat yang terus melaju ke arah api yang bersinar terang karena panasnya hawa, sayapun terus melangkah meskipun tahu aka nada banyak konsekuensi yang menunggu. Namun apapun itu saya merasa siap menerimanya.

            Satu persatu saya dipertemukan dengan teman-teman baru yang beberapa karakternya mengingatkan pada kawan-kawan di SMA meskipun tidak sama persis. Saya ingat betul hari itu saya dipertemukan dengan Umrah, adik kecil yang sangat merasa perlu untuk diarahkan disetiap ke sempatan yang ada. Karena dia menganggap saya cukup dewasa dan tahu lebih banyak sayapun menghabiskan banyak hal bersamanya. Masa PBAK saya lewati, saya sebetulnya bukan orang yang gampang dekat dengan orang asing. Perlu suatu hal yang benar-benar menarik dalam diri orang itu hingga mampu membuat saya terkesan, contohnya Umrah yang seringkali kekanakan dan labil.

            Teman dekat selanjutnya yang menarik perhatian saya adalah Salwa yang berasal dari Palopo. Kami dipertemukan saat sedang ada pertemuan antara junior dan senior jurnalistik. Dia orangnya sangat-amat frontal dan fashionable. Waktu itu saya asik membahas drama korea yang sedang booming dengan Umrah, kebetulan dia juga suka korea namun hanya drama bukan musiknya. Salwapun tiba-tiba ikut terjun dan menjelaskan beberapa drama yang disukainya, dengan kemampuan penjabaran alur dan plot yang sangat payah namun untungnya saya yang memang otaknya gampang connect jika menyangkut Korea dapat mengimbanginya.

            Selanjutnya saya mulai beradaptasi dengan baik dan mengumpulkan banyak teman yang berbeda asal, bahasa, ataupun minat.  Menjalani hari-hari bersama sebagai mahasiswa baru yang ternyata menyenangkan. Banyak pelajaran yang saya ambil selama berkuliah. Ternyata berada di universitas tidaklah semenyeramkan bertemu siluman, setan, bencong ataupun polisi tukang tilang.

 

Û    CHAPTER  2 (Suka & duka dalam mempelajari Bahasa Jurnalistik)

a.    “16 Pertemuan Bersama Dosen Cak Lontong”

            Awal pertemuan saya denga Pak Suf, saya pikir dia merupakan salah satu dari sekian spesies dosen yang perlu diwaspadai dengan label “killer” yang bertengger dijidatnya. Namun makin dalam beliau menggiring kami ke sisi kegelapan dunia perkuliahan yang memuat kepala berdenyut. Okelah pertemuan pertama masih membahas seputar kontrak kuliah yang nilai cukup sacral bagi sebagian mahasiswa karena akan mempengaruhi kelangsungan hidup mereka ditangan sang dosen. Dari tutur kata Pak Suf dia tipikel orang yang tidak pernah menyianyiakan waktu dan sangat sibuk. Sejak awal pertemuan dia menginginkan untuk segera menyelesaikan perkuliahan sebab beliau sewaktu-waktu dituntut untuk ke Arab Saudi dimana memang dosen pemegang mata kuliah jurnalistik itu mengingatkan saya akan unta Arab.

            Pertemuan kedua lumayan mengetuk minat saya untuk belajar bahasa jurnalistik dengan baik melalui orang yang cukup kompeten seperti Pak Suf. Namun baru saja beliau melangkahkan kaki masuk ke kelas beliau langsung mendikte bacaan yang wajib dicatat. Sejujurnya saya memang suka menulis tapi itupun bukan dalam artian menulis cerita di kertas sebenarnyai tapi mengetik di laptop. Alasannya, yang pertama otot tangan saya mudah lelah ketika terlalu banyak mengeluarkan tenaga, kedua tulisan saya itu seperti ceker ayam berantakan ketika dituntut mencatat cepat, dan terakhir fenomenan pulpen hilang di meja masih menjadi misteri hingga saat ini. Membuat saya jengkel karena selalu membeli pulpen baru.

            Saat kata terakhir selesai diucapkan beliau pun mempertanyakan jenis kata yang selama ini saya anggap sinonim tapi secercah arah yang berbeda hingga berdebat dalam inti analisis saya. Selama menjadi seorang penulis amatir saya tidak pernah mempermasalahkan setiap kata yang dituangkan dalam cerita. Saya hanya menulis sesuai arus deras imajinasi. Namun Pak Suf membuat saya akhirnya mempertanyakan kembali kebenaran dari setiap kata yang ada di muka bumi.

            Seperti, apakah memang kambing itu adalah hewan bertanduk sedangkan sapi adalah hewan yang memakan rumput? Tapi jika dibalik pun keduanya tetap sesuai dengan fakta yang ada. Setiap pertemuan beliau menjejali mahasiswanya dengan dua jenis kata yang sama namun mengandung makna tersirat yang berbeda.

            Selama ini saya pikir pertanyaan yang paling mind blowing dan sering diperdebatkan khalayak adalah “Bumi itu bulat atau datar?” atau “Telur dulu atau ayam?” Tapi setelah bertemu dengan Pak Suf Kasman yang merasa baru saja kembali dari klinik tongfang. Semua indera saya dipaksa untuk memikirkan kata-kata yang bagai koin. Sama namun memiliki dua sisi yang berbeda. Satu sisi sangat menyebalkan ketika saya menyuarakan pendapat dan telah saya anggap benar tapi malah direspon balik seakan-akan jawaban yang sebenarnyai adalah yang tidak saya pilih, namun ketika saya justru memilih jawabannya yang satunya beliau memaparkan fakta kebenaran jawaban yang sebelumnya. Bapak kira saya ini bulu badminton apa yang dilempar sana-sini? Tapi dibalik itu semua saya sangat berterimakasih karena sikap kompetitif saya seperti dipacu untuk berpikir diluar nalar atau out of the box.

            Pak Suf seringkali mengingatkan saya dengan pelawak Cak Lontong yang kerap mengeluarkan ide-ide antimainstream ditengah gurauannya. Dosen berkaca mata itu selalu menyelipkan candaan ditengah ketegangan ketika menunjuk mahasiswa menjawab pertanyaan kematiannya. Intinya Pak Suf dan Cak Lontong itu mirip, apalagi dahinyaJ. Sedangkan mata kuliah bahasa jurnalistik saya samakan dengan teka-teki silang (TTS) Cak Lontong. Bedanya kalau TTS menyulutkan emosi ketika memainkannya, Pak Suf seringkali memberikan penjelasan yang kontradiktif dengan pemahaman saya.

            Namun makin hari, saya semakin menikmati setiap pelajaran dari Pak Suf dan tidak pernah merasa tegang ketika ditunjuk untuk menyuarakan pendapat. Toh, Pak Suf bukan jenis dosen yang akan menjatuhkan mental muridnya ketika salah. Dia justru mengayomi tapi tidak mengklarifikasi penjelasannya dengan lengkap. Oh iya, dia setiap hari juga menanamkan rasa penasaran yang membuat saya selalu menantikan pertemuan kuliah selanjutnya.

            Saya sebenarnyai tidak mengingat semua pertanyaan, penjelasan serta ibrah dan hikmah yang beliau sampaikan. Namun ada beberapa yang cukup membekas dibenak hati saya. Permasalahan bahasa atau komunikasi dulu yang lahir, dimana sejak awal pilihan saya itu bahasa, sebab komunikasi tidak akan pernah berjalan tanpa adanya bahasa di dalamnya sebagai media penyampaian maksud dari komunikator kepada komunikan. Kisah tentang nabi adam dan hawa yang di turunkan ke bumi karena memakan buah terlarang disurga setelah dihasut setan. Sejarah wartawan atau jurnalis yang diawali oleh burung hud-hud yang bertugas menyampaikan pengamatannya selama terbang kepada Nabi Nuh yang berada di atas bahteranya selama terombang-ambing ditengah banjir terdasyat disepanjang sejarah dunia.Tentang kita percaya atau yakin pada sesuatu, dan rasa percaya diri muncul dari rasa takut atau berani. Dan masih banyak lagi yang tidak bisa saya jelaskan.

 

b.    “Masukan dan Komplen untuk Pak Suf Kasman”

            Harapan saya pada bapak, semoga bapak sehat selalu dan tidak akan pernah berubah agar junior atau adik-adik yang akan masuk jurnalistik dan nantinya belajar bahasa jurnalistik ikut merasakan bagaimana didikan pertarungan dua kata yang terdengar sama namun mengandung makna berbeda ikut mereka rasakan dan membingungkan mereka.

            Baru kali ini saya bertemu dengan seorang tenaga pengajar yang tidak hanya menanamkan bibit teori untuk membentuk individu berkulitas namun juga mengikutsertakan pupuk organiknya. Saya akhirnya sadar setiap kata yang ada bukan semata-mata diciptakan hanya untuk kepentingan komunikasi melainkan juga berperan sebagai dasar memahami makna-makna kehidupan yang ada disekitar. Gara-gara bapak saya sampai mempertanyakan “Apakah apel benar-benar apel atau justru dia adalah buah pisang yang ternyata tertukar dulunya, sehingga bukannya kisah “putri yang tertukar” malah sebenarnya “buah yang tetukar.”

            Kalau bisa Pak Suf sesuaikan kemampuan teman-teman yang ada dengan penalaran teka-teki milik bapak. Jangan sampai karena tidak sanggup menjalani mata kuliah bapak, orang tersebut memilih henkang. Saya banyak mendengar teman-teman yang mengeluh dan tegang ketika tiba-tiba bapak menunjuk mereka, ingin bersimpati tapi memang itulah tugas mahasiswa memahami sesuatu dengan baik dan tidak lagi memakai pikiran anak sekolah yang hanya terus disuapi ilmu.

            Mungkin jika bapak berkenan Pak Suf mungkin bisa membagikan pengalaman ada kepada mahasiswa bapak supaya mereka merasa lebih tertantang dan ingin menjadi lebih dari bapak yang sepertinya merupakan orang penting karena sibuk bolak-balik Indonesia-Arab Saudi. Saya menjadi curiga, jangan-jangan bapak punya misi terselubung untuk mengajari seseorang yang selama ini dikenal tidak bisa berbahasa Arab sejak kecil padahal dia setiap hari mendengar dan mempelajari bahasa tersebut. Hehe sampai saya menikah saya oppa korea, unta tidak akan bisa berbahasa arab Pak.

            Saya tidak beharap banyak bapak akan membaca tulisan untuk tugas final saya yang sebenarnya lebih mengarah ke curhatan ataupun unek-unek terpendam untuk Pak Suf Kasman. Namun satu yang harus bapak ketahui, saya merasa berterima kasih karena telah mengajarkan saya bapak hal baru selama 16 kali pertemuan ini. Kedepannya saya harap bapak tidak akan berubah dan selalu menjadi diri sendiri, begitu pun saya sendiri. Mari bertemu kembali di semester selanjutnya kalaupun bukan di kelas seperti semester ini, mungkin di masa depan nanti saya dapat membanggakan diri dan melenggang penuh percaya diri memamerkan semua hasil dari pelajaran yang bapak berikan serta ikut mengakui keberhasilan saya dalam menggapai mimpi serta peran bapak sebagai dosen yang mengagumkan.

 

P.S : Tulisan ini juga saya muat di blog pribadi, imajiandara.blogspot.com saya berharap bapak menikmati tulisan saya yang berantakan ini. Harap tidak menyimpan dendam pribadi karena beberapa kata yang tidak berkenan dihati sehingga berimbas pada nilai final saya, hehe.

 

Dengan ini saya menyatakan partisisapi, eh partisipasi saya dalam tugas final bahasa jurnalistik telah selesai. Saya Nur Hikma HS yang kembarannya Nikita Willy tapi anti Lucinta Luna pamit undur diri. Terima Kasih Sekali Lagi Pak!

Komentar

Postingan Populer